Pengadilan Pajak telah memutus sengketa PPh Badan Tahun Pajak 2015 yang melibatkan PT IMS, sebuah holding company. Inti sengketa ini berpusat pada koreksi Penyesuaian Fiskal Positif atas biaya dari luar usaha, khususnya kerugian selisih kurs obligasi valuta asing, dengan total nilai bersih Rp133.718.213.358. Kasus ini menjadi studi kasus penting mengenai penerapan ketat prinsip pemadanan biaya (cost-matching) yang memisahkan biaya untuk memperoleh penghasilan terutang pajak dan penghasilan yang bukan objek pajak.
PT IMS selaku Wajib Pajak berargumen bahwa kerugian selisih kurs tersebut berasal dari utang obligasi dalam mata uang asing dan telah dihitung secara konsisten sesuai dengan PSAK 10 tentang Transaksi Dalam Mata Uang Asing. PT IMS juga menegaskan bahwa perhitungan selisih kurs telah diverifikasi secara independen oleh Akuntan Publik dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan secara umum, selisih kurs ini seharusnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf e UU PPh. PT IMS mengklaim selalu konsisten mengakui selisih kurs baik dalam keadaan laba maupun rugi, termasuk laba kurs yang diakui pada Tahun Pajak 2016.
Namun, DJP menolak argumentasi PT IMS. DJP berpendapat bahwa PT IMS adalah holding company yang usaha utamanya hanya melakukan penyertaan modal dan tidak ada kegiatan usaha lainnya. DJP menekankan bahwa PT IMS menerima penghasilan berupa dividen pada Tahun Pajak 2015 yang dicatat sebagai penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh, karena WP memiliki penyertaan saham 72,73% di entitas anak. Karena penghasilan utama PT IMS dianggap bukan objek pajak, maka biaya-biaya yang dikeluarkan, termasuk kerugian kurs valas dari transaksi utang obligasi, tidak boleh dikurangkan, sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU PPh jo. Pasal 13 huruf a PP Nomor 94 Tahun 2010.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak pada dasarnya menyetujui pendapat DJP, menguatkan fakta bahwa PT IMS merupakan holding company dengan penghasilan utama dari penyertaan modal yang merupakan penghasilan bukan objek pajak. Majelis menegaskan bahwa hanya biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan prinsip 3M (Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara) penghasilan yang terutang pajak yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Menurut Majelis, kerugian/keuntungan selisih kurs yang timbul dari pinjaman obligasi yang digunakan untuk pelunasan utang/piutang dalam USD tersebut, yang hanya semata-mata menghasilkan keruntungan/kerugian yang bukan objek pajak, tidak dapat dibebankan. Dengan demikian, Majelis memutuskan bahwa biaya untuk memperoleh penghasilan yang bukan objek pajak tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang terutang pajak, sesuai Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 UU PPh jo. peraturan pelaksanaannya, sehingga koreksi fiskal positif DJP (neto Rp133,7 Miliar) dipertahankan.
Putusan PT IMS ini memberikan insight yang sangat penting bagi Wajib Pajak dengan struktur holding company yang memiliki utang valas: kunci pembuktian bukanlah pada keabsahan perhitungan kerugian kurs itu sendiri, melainkan pada keabsahan hubungan kausalitas (tracing fund) antara utang valas tersebut dengan kegiatan yang menghasilkan penghasilan kena pajak. Kegagalan PT IMS membuktikan bahwa dana pinjaman obligasi tersebut digunakan untuk membiayai atau menghasilkan sumber penghasilan lain yang terutang pajak (misalnya, modal kerja untuk jasa management fee), membuat seluruh biaya, termasuk kerugian kurs terkait, dianggap melekat pada perolehan penghasilan bukan objek pajak, dan karenanya menjadi non-deductible expense.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini